SEJARAH SYEKH SITI JENAR


 


           SEJARAH SYEKH SITI JENAR 

Sejarah Syekh Siti Jenar ini masih menjadi simpangsiur di kalangan masyarakat, karena ketidakjelasan tahun kehidupannya sebagai pelaku ajaran sufi sekaligus penyebar ajaran Islam di tanah Jawa. Penyebab kesimpangsiuran tersebut adalah sengaja dibuat oleh Walisongo dan petinggi Islam di Bintoro Demak pada waktu itu. Pada abad ke-15 hingga akhir abad ke-17 Walisongo dan didukung dengan pendapat petinggi Islam di Bintoro Demak beliau semua beranggapan bahwa Syekh Siti Jenar adalah manusia cacing.

              Namun dalam sebuah literatur klasik pendapat tersebut ditentang dengan keras dan dituliskan dengan tegas dalam tulisan Jawa kuno yang berbunyi: “Wondene kacariyos yen Lembahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungso darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” Artinya adalah: “Syekh Siti Jenar sebenarnya adalah seorang manusia (rakyat jelata) yang rumahnya di Dusun Lemahbang.” Berdasarkan literature klasik Jawa kuno tersebut dapat kita ambil pemahaman bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang manusia asli dan bukan jelmaan dari cacing seperti yang banyak orang ceritakan.

            Syekh Siti Jenar atau yang dikenal dengan nama Syekh Abdul Jalil sebenarnya adalah putra dari seorang ulama di Malaka yang bernama Syekh Datuk Shaleh bin Syekh Isa Alawi bin Ahmad Syah Jalaludin Husain bin Syekh Abdullah Khannudin bin Syekh Sayyid Abdul Malikal Qazzam. Syekh Siti Jenar lahir di Cirebon tahun 829 H / 1426 M. Syekh Siti Jenar memiliki nama kecil yang biasa disebut dengan Sayyid Hasan Ali al-Husain yang memiliki banyak arti. Kata Sayyid dalam nama itu menunjukkan bahwa Syekh Siti Jenar adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dari keluarga Husain. Kata Ali mengandung arti taat dan menegaskan bahwa Syekh Siti Jenar memiliki sifat taat (bermaksud bahwa taat dalam jalan Allah swt, menjauhi semua larangan-Nya dan menjalankan semua perintah Allah swt). Kemudian kata al-Husain menunjukkan nama kakek teratas Syekh Siti Jenar.

              Dalam sejarah orang Persia, jika seseorang memiliki anak maka dalam namanya disematkan nama kakek-kakek mereka baik dari urutan kakek pertama maupun kakek teratas. Jadi sudah tidak heran lagi jika Syekh Siti Jenar memiliki nama kecil al-Husain yang merujuk pada nama kakek teratas beliau. Apabila diurutkan silsilah Syekh Siti Jenar nasab keturunannya memiliki hubungan nasab dengan Rasulullah SAW, yaitu dari kakek Imam Husain As-Syahid yang merupakan buah keturunan dari Ali bin Abi Thalib dengan Sayyidah Fatimah binti Rasullullah SAW. Berikut adalah nasab lengkap Syekh Siti Jenar: Sayyid Ali al-Husain bin Sayyid Shalih bin Sayyid Isa Alawi bin Sayyid Ahmad Syah Jalaludin bin Sayyid Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Mirbath bin Sayyid Ali Khali Qasam bin Sayyid bin Sayyid Alwi Shahib Baiti Zubair bin Sayyid Muhammad Maula ash-Shauma’ah bin Sayyid Alwi al-Mubtakir bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad al-Muhajir bin Sayyid Isa an-Nakib bin Sayyid Ali al-Uraidhi bin Imam Ja’far as-Shiddiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husain as-Syahid bin Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Muhammad Rasulullah SAW.[1]

           Syekh Siti Jenar memiliki hubungan darah yang kental dengan kakek keempat beliau yaitu Syekh Abdul Malik Azmat Khan, yang merupakan raja kedua dari kerajaan Nasarabad (India Lama) sekaligus ulama terkenal yang pernah menyebarkan agama Islam di berbagai negeri sebelum diangkat raja oleh ayahnya, Syekh Ammil Alwi Faqih pada tahun 653 H.

          Dalam kisah disebutkan bahwa jauh sebelum Syekh Siti Jenar dilahirkan, ayah beliau Syekh Datuk Shaleh sudah menetap di Malaka (sekarang biasa disebut dengan Malaysia). Beliau tinggal di Malaka sudah lumayan lama semenjak ayahnya, Syekh Isa Alawi pindah dari Kamboja dan mulai menyebarkan Islam di Malaka. Malaka merupakan daerah kesultanan Malaka, yakni sebuah kerajaan Melayu yang didirikan oleh Prameswara jauh sebelum adanya pengakuan wilayah kedaulatan dari Kaisar Tiongkok pada tahun 1405 M. Pada masa itu, Malaka mendapatkan perlindungan dari Kaisar Tiongkok dari serangan kerajaan Ayyuthaya dan Majapahit. Sehingga Malaka merupakan daerah yang aman dan jauh dari banyaknya konflik, dan penyebaran agama Islam dapat berjalan tanpa hambatan.

            Keamanan Malaka tidak berlangsung lama sejak terjadi pemindahan kekuasaan di dalam Kesultanan Malaka pada akhir tahun 1424 M, yakni pada masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Maka pada saat itu pula Syekh Datuk Sholeh beserta istrinya memutuskan untuk berpindah ke Cirebon karena sudah merasa tidak aman lagi tinggal di Malaka. Setelah melakukan perjalanan laut selama kurang lebih seminggu, tibalah beliau berdua di Cirebon pada awal tahun 1425 M. Ketika itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya yang masih berusia kurang lebih tiga bulan. Di Cirebon Syekh Datuk Shaleh beserta istri memulai kehidupan barunya, beliau berdagang sambil menyebarkan agama Islam di Cirebon yang mayoritas orangnya masih beragama Hindhu dan Budha.

           Setelah kurang lebih setahun bertempat tinggal di Cirebon, Syekh Datuk Shaleh wafat pada awal tahun 1426 M. Pada waktu itu, Syekh Siti Jenar telah lahir dan baru berusia dua bulan. Semenjak itu pula Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh ibunya sendiri dengan dibantu Ki Danusela dan Pangeran Walasungsang yang belajar di pesantren Giri Amparan Jati. Syekh Siti Jenar tumbuh dewasa di lingkungan Pesantren Giri Amparan Jati. Di pesantren tersebut, Syekh Siti Jenar belajar ilmu-ilmu Al-Qur’an, seperti ilmu tajwid, ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu nasikh-mansukh, ilmu makki-madani, ilmu I’jaz al-Qur’an, ilmu jadal al-Qur’an, ilmu qashas al-Qur’an dan ilmu-ilmu al-Qur’an lainnya.

        Dalam kisah disebutkan, bahwa Syekh Siti Jenar berhasil selesai menghafalkan Al-Qur’an ketika beliau berusia 8 tahun. Apabila dilihat dari perjalanan hidupnya, kecerdasan Syekh Siti Jenar hampir disamakan dengan Imam Syafi’i yang berhasil menghafal kitab suci Allah pada usia 7 tahun. Hanya saja Syekh Siti Jenar telat satu tahun dibandingkan dengan Imam Syafi’i.

Di pesantren tersebut, Syekh Siti Jenar tidak hanya menghaflkan Al-Qur’an namun juga mengkaji berbagai ilmu-ilmu lainnya. Beliau belajar ilmu-ilmu keagamaan lainnya, seperti: ilmu-ilmu nahwu, sharaf, ushul fiqh, mantik, hadits, mushtalah hadits, dan lain sebagainya.

       Sekitar tahun 1446 M, Syekh Siti Jenar keluar dari pesantren Giri Amparan Jati dan berniat mulai belajar ilmu kemakrifatan (sufi). Pada waktu itu, Syekh Siti Jenar meminta izin kepada saudara sepupunya, yakni Syekh Datuk Kahfi agar memperbolehkannya keluar dari pesantren tersebut untuk menimba ilmu kemakrifatan. Dengan banyak pertimbangan, akhirnya Syekh Datuk Kahfi memperbolehkan dan memberikan restunya untuk Syekh Siti Jenar keluar dari pesantren Giri Amparan Jati untuk menimba ilmu kemakrifatan.          

 

 

B.     Pemikiran dan Ajaran Syekh Siti Jenar

 

1.       Pemikiran Jenar

         Menurut Abdul Munir Mulkhan (Guru Besar Sosiologi Agama UIN Jogyakarta), pemikiran Jenar dapat dikelompokkan ke dalam beberapa gagasan, antara lain tentang Tuhan, hidup dan mati,  jalan mengenal Tuhan, dan bagaimana menjalani kehidupan di dunia ini. Suatu gagasan yang lebih mengedepankan dimensi spiritual keagamaan daripada berbagai aturan formal ritual.

 

a. Tuhan dalam Pandangan Jenar

          Pandangan Syekh Siti Jenar tentang Tuhan, memang erat kaitannya dengan konsep manunggaling kawula Gusti. Pandangannya tentang ketuhanan untuk maksud memperoleh gambaran yang jelas tentang konsep manunggaling kawulo-Gusti.

Konsep mistik manunggaling kawula-Gusti, curiga manjing warangka dalam budaya Jawa secara teologis menjelaskan tata laksana hubungan manusia dengan Tuhan, secara sosiologis menjelaskan tata laksana hubungan manusia dengan sesama, dan secara ekologis menjelaskan tata laksana hubungan manusia dengan lingkungan. Nampaknya pandangan Jenar dengan para penganut pandangan wahdah al-wujûd tidak jauh berbeda.

          Zat Allah (Tuhan) adalah lambang keselamatan dan bersifat Maha Halus dan sabdanya terus menerus. Tuhan tiada berdusta. Selanjutnya Jenar menganggap Hyang Widi (Tuhan) itu serupa dirinya. Ia merasa dirinya adalah jelmaan zat Tuhan dengan dua puluh sifat sebagaimana sifat dua puluh Tuhan. Karena itu Jenar percaya bahwa dirinya tidak akan mengalami sakit dan sehat, dan akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramahtamahan.

          Pandangan Jenar tentang Alah tidak berwarna dan tidak terlihat, yang hanya adalah tanda-tanda wujud dari Hyang Widi tersebut sama dengan pandangan teori Martabat Tujuh yang menyatakan bahwa apa yang maujud di alam ini sebenarnya merupakan “tajallî”-Nya, penampakan dari zat Allah. Sungguh pun demikian zat Allah yang berada dalam perwujudan kayu dan batu berbeda dengan yang berada dalam diri manusia. Karena manusia pada hakikatnya merupakan perwujudan dari “tajallî”-Nya Allah yang maha paripurna.

 

b. Manusia dalam Pandangan Jenar

           Manusia sejak lahir di dunia yang fana ini tiap-tiap pribadi memiliki fitrah keagungan dan kemuliaan sebagai makhluk paling sempurna keturunan Adam, yang disebut adimanusia (al insân al-kâmil), semua dicipta oleh Allah dengan maksud dijadikan wakil-Nya di muka bumi (khalîfah Allâh fîl al-ardl). “Sesungguhnya rahasia agung di balik kesempurnaan adil manusia itu terlihat pada kenyataan bahwa di dalam tubuh manusia yang terbuat dari tanah liat tersembunyi ruh bersifat Ilâhiyyah yang ditiupkan oleh Allah saat penciptaan manusia pertama. Pendek kata, apa pun yang terkait dengan penghinaan dan penistaan atas hakikat manusia adalah bertentangan dengan ajaranku.”

          Jenar mengajarkan, bahwa dengan seseorang menyadari bahwa manusia sebagai wakil Tuhan di bumi, maka hendaknya masing-masing kalian berpegang pada tatanan hukum Ilahi (syariat) yang bersumber dari sabda Allah dan teladan Nabi Muhammad Saw (Sunnah al-Rasûl).

 

c. Jiwa dalam Pandangan Jenar

            Bagi Jenar yang disebut jiwa itu adalah suara hati nurani yang merupakan ungkapan dari zat Tuhan yang harus ditaati dan dituruti perintahnya. Jenar membedakan antara apa yang disebut jiwa dan akal. Jiwa, selain merupakan ungkapan kehendak Tuhan juga merupakan penjelmaan dari Hyang Widi (Tuhan) itu di dalam jiwa, sehingga badan raga dianggap sebagai Hyang Widi. Sementara itu, akal adalah kehendak, angan-angan dan ingatan yang kebenarannya tidak sepenuhnya dapat dipercaya karena selalu berubah - ubah. Berbeda dengan akal, jiwa yang berasal dari Tuhan itu mempunyai sifat kekal atau langgeng sesudah manusia mati yang melepaskannya dari belenggu badan manusia.

 

d. Alam Semesta Menurut Jenar

          Syekh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos (jagat besar) sama dengan mikrokosmos (manusia)  jagat kecil, sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan (hawâdits) yang sama - sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi (fanâ’). Manusia terdiri dari jiwa sebagai penjelmaan zat Tuhan. Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, darah dan tulang.

 

e. Fungsi Akal menurut Jenar

           Fungsi akal dalam ajaran Jenar banyak dikaitkan dengan intuisi. Pandangannya ini kelak amat berpengaruh besar terhadap fungsi aturan formal syariah, khususnya tentang “lima rukun Islam”. Kata akal yang sering diartikan sebagai “budi eling” misalnya, di satu pihak dikatakan sebagai pegangan hidup. Kata yang sama itu di sisi lain juga dipakai untuk maksud kehendak, angan-angan, dan ingatan. Berbeda dengan akal dalam penegrtian pertama, akal dalam arti kedua ini dipandang Siti Jenar kebenarannya tak dapat dipercaya. Jenar bahkan menganggap bahwa akal selalu berubah dan dapat mendorong manusia melakukan perbuatan jahat.

 

 

 

f. Kehidupan menurut Jenar

         Ajaran Jenar memang lebih mengutamakan masalah kebatinan daripada aspek lahiriah. Ini dapat dilihat dari wejangan Syekh Siti Jenar kepada sahabat-sahabatnya. “Pertama, mengajarkan tentang penguasaan hidup. Kedua, pengetahuan tentang pintu kehidupan. Ketiga, tempat di kelak kemudian hari, hidup kekal tak berakhir. Keempat, tentang hal mati yang dialami di dunia sekarang ini, dan Lemah Abang mengajarkan tentang kedudukannya Yang Mahaluhur.”

 

g. Tindakan Manusia Menurut Jenar

          Jenar memandang bahwa tindakan manusia adalah sebagai kehendak Tuhan. Pandangannya ini sama dengan pandangan Jabariah. Namun ini perlu dijelaskan bahwa hal itu dalam arti apabila Alllah telah bersama manusia, maka manusia itu pasti berbuat baik. Ia niscaya membersihkan diri dari kehidupan yang kotor, yaitu bentuk kehidupan yang dikendalikan oleh hawa nafsu. Namun pada dasarnya menurut Jenar manusia mempunyai iradatnya sendiri untuk berbuat tindakan. Dalam hal ini pandangan Syekh Siti Jenar dalam sudut ilmu kalam, teologi Islam, seperti pandangan qadariyah atau Mu`tazilah.

 

 

2.         Ajaran Tarekat dan Makrifati Jenar

 

a. Tentang Kebenaran Sejati dan Metode Pencapaiannya

         Berkenaan dengan Kebenaran Sejati, menurut Jenar, tidak berada di kuburan-kuburan, di gua-gua, di pohon - pohon besar, di gunung, di laut, maupun langit. Sesungguhnya, Kebenaran Sejati lebih dekat dari urat leher manusia. Jadi? Carilah Kebenaran Sejati di tengah kehidupan manusia, di tengah-tengah tarikan nafas kehidupan, di tengah keramaian dan keheningan alam kehidupan. Dan sesungguhnya, tanpa pedoman ilmu hikmah dan `irfân, sangatlah sulit memperoleh anugerah ruhani yang menyebabkan kegaiban (ghaibah) yang merupakan prasyarat utama bagi ditemukannya Kebenaran Sejati.

 

b. Manunggaling Kawulo-Gusti: Ajaran inti Jenar

          Akhir perjalanan mistik/tarekat Jenar adalah ajaran makrifatnya yang tertinggi yaitu ajaran manunggaling kawulo-Gusti. Perumpamaan kemanunggalan manusia dengan Tuhan adalah seperti cermin dengan yang bercermin, bayangan yang berada dalam cermin itu namanya adalah kawula atau hamba dan cermin ibarat Tuhan. Dalam Suluk Wujil kemanunggalan kawulo dengan Gusti, tetap menempatkan Tuhan berbeda dengan manusia. Tuhan memiliki empat sifat, yaitu jalal (jalâl) adalah agung, jamal (jamâl) adalah elok, kahar (qahhâr) adalah wisesa atau kuasa, dan kamal (kamâl) adalah sempurna.

               Konsep Manunggaling Kawulo Gusti atau kesatuan manusia dengan Tuhan (wahdah al-wujûd) yang dipergunakan untuk menggambarkan dalam kepustakaan Islam kejawen adalah curiga manjing warangka, warangka manjing curiga. Apa maksudnya, yaitu manusia masuk dalam diri Tuhan, laksana Arya Sena masuk dalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, warangka manjing curiga. Yakni Tuhan masuk (nitis) dalam diri manusia, seperti halnya dewa Wisnu nitis pada diri Kresna. Dalam paham nitis, masuknya roh dewa dalam diri manusia, atau roh manusia dalam binatang masih kelihatan dalam Serat Wirid Hidayat Jati. Roh manusia yang sesat tidak dapat kembali ke dalam singgasana Tuhan, dikatakan akan nitis dalam brakasakan (jin), bangsa burung, binatang dan air.

 



[1]  Sartono Hadisuarno. Biografi Lengkap Syekh Siti Jenar. (Yogyakarta: Laksana, 2018). Cet I, hal. 24.

0 Response to "SEJARAH SYEKH SITI JENAR"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel