BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH
SYAIKH MUHAMMAD ABDUH TOKOH PEMBAHARU ISLAM
Syaikh Muhammad Abduh memiliki nama lengkap Muhammad bin abduh bin hasan
khairullah. Beliau lahir di desa mahallat nashr di kabupaten al-buhairah, mesir
pada tahun 1849 M. keluarga beliau tergolong tidak kaya dan bukan berasal dari
keturunan bangsawan. Ayah Muhammad abduh di masyarakatnya dikenal sebagai orang
yang terhormat dan suka menolong. Muhammad Abduh tinggal di lingkungan keluarga
petani di pedesaan. Muhammad abduh belajar menulis dan membaca di rumahnya.
Beliau hafal Al-Qur’an pada usia yang cukup dini yaitu 12 tahun. Aktifitas
beliau dibedakan dengan Saudara-saudaranya yang membantu ayahnya untuk
mengelola usaha pertaniannya, terkecuali Muhammad abduh yang memiliki tugas
dari ayahnya untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Tugas yang diberikan ini mungkin menjadi sebuah kebetulan atau
dikarenakan ayah dan ibu beliau sangat cinta kepadanya sehingga ada hal yang
istimewa untuk dirinya dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Hal yang terjadi tersebut dapat dibuktikan
dengan sikap ibunya yang tidak sabar saat Muhammad abduh tinggal di desa lain
untuk menuntut ilmu. Dua minggu ditinggal beliau, ibunya sudah menjenguknya ke
tempoat menuntut ilmunya atau kalau di Indonesia itu anak mondok dipesantren
orang tuanya menjenguk.
Pendidikan
Syaikh Muhammad Abduh
Pada usia 13 tahun awal Muhammad abduh dikirim ke Masjid Al-Ahmadi
Thantha (80 KM dari kairo) oleh ayah tercintanya untuk menimba ilmu tajwid
Al-Qur’an. Akan tetapi, sesampainya belajar disana beliau merasakan sistem
pengajaran yang diterapkan sangat tidak menarik yang mengakibatkan setelah dua
tahun disana, Muhammad abduh memutuskan untuk Kembali ke tempat tinggalnya dan
ikut Bertani seperti yang dilakukan oleh kerabat dan saudara-saudaranya. Ketika
Muhammad abduh Kembali ke rumah dia langsung dinihkahkan dengan seorang Wanita
oleh orang tuanya. Meskipun Muhammad abduh ini sudah menikah, ayah beliau tetap
menuntutnya untuk Kembali mencari ilmu pengetahuan. Akan tetapi hal tersebut
ditentang Muhammad abduh dan beliau bertekad untuk tidak Kembali.
Untuk menghindarinya Muhammad abduh pergi ke desa syibral khait, disana
banyak paman dari ayahnya yang berada di desa itu. Ketika berada di daerah ini,
beliau bertemu dengan syaikh darwisy khidr, salah satu pamannya yang memiliki
pengetahuan tentang Al-Qur’an dan beliau juga penganut ajaran tasawuf Asy-Syadziliyah. Bertemunya Muhammad abduh
dengan pamannya menjadikan beliau berubah pandangan yang semula dari seorang
yang membenci ilmu pengetahuan menjadi orang yang sangat menyukainya. Mulai
inilah Muhammad Abduh Kembali lagi ke Masjid Al-Ahmadi Thantha, dan kali inu
minat dan pandangan beliau untuk belajar sangat jauh berbeda dibandingkan saat
awal pertama kali dia ke sana.
Dari Thantha, beliau pergi menuju kairo untuk keperluan belajar di
Al-Azhar, tepatnya pada bulan februari 1866. Saat belajar disana sisitem
pengajarnnya tidak berkenaan di hatinya, karena menurutnya para mahasiswa hanya
dilberikan berbagai pendapat para ulama terdahulu tanpa menuntun mereka pada
usaha untuk melakukan penelitian,
perbandingan dan penarjihan. Di universitas ini Muhammad abduh diperknankan
untuk berkenalan dengan banyak dosen yang dikaguminya, diantaranya Syaikh Hasan
Ath-Thawil dan Muhammad Al-Basyumi.
Saat itu pada tahun 1871 M, Syekh Jamaluddin Al-Afghani tiba di mesir,,
dan kedatangan beliau disambut baik oleh Muhammad abduh. Antar keduanya
mempunyai hubungan yang baik sehingga memungkinkan syekh Jamaluddin untuk
merubah pola piker tasawuf Muhammad abduh yang sempit pada tasawuf yang lain
dalam arti lebih luas. Dalam hal ini dilakukan berbagai pemahaman terhadap
ajaran barat dan memahami faktor-faktornya guna melawan dan menyaring agar ada
sebuah ajaran barat yang bisa diterapkan dalam islam yang tidak berlawanan
dengan prinsip islam. Melalui Al-Afghani, abduh belajar mendalami berbagai
ilmu, diantaranya pengetahuan-filsafat, matematika, teologi, politik dan
jurnalistik.
Menurut Muhammad abduh yang menarik baginya dalam ilmu teologi yautu
mengenai teologi mu’tazilah. Dari ketertarikannya mempelajari teologi
mu’tazilah sampai beliau dituduh akan menghidupkan ajaran itu Kembali. Sehingga
beliau dipanggil oleh syaikh Alaisy,
salah satu seorang ulama Al-Azhar yang sangat benci terhadap ajaran
mu’tazilah. Sebab itu abduh ditanya apakah benar ia memilih ajaran mu’tazilah,
beliau menjawab dengan tegas bahwa dai tidak akan taqlid kepada ajaran manapun
dan kepada siapapun. Dia ingin menjadi seorang yang memiliki pemikiran bebas.
Akibat dari kejadian tersebut, Muhammad abduh hampir tidak akan memperoleh
ijazah alamiyah ataua sekarang itu L.C.
Pada tahun 1878, Abduh ditugaskan untuk mengajar di perguruan tinggi Dar
al-Ulum yang baru didirikan serta mengajar di Universitas al-Azhar. Kesempatan
ini ia gunakan untuk berbicara dan menulis tentang isu-isu politik dan sosial,
khususnya tentang pendidikan. Dalam memegang jabatannya, ia terus melakukan
perubahan radikal sesuai dengan cita-citanya, yaitu memperkenalkan suasana baru
bagi perguruan tinggi Islam, menghidupkan kembali Islam dengan metode sesuai
tuntutan zaman, mengembangkan mengembangkan sastra Arab, dan menyingkirkan
budaya kuno dan kuno. cara-cara modern. fanatik. Tahun berikutnya Abduh dan
al-Ghani diusir dari Mesir karena sikap politik mereka dianggap terlalu keras.
Pada akhirnya, Abduh diberhentikan dari posisi mengajarnya di Dar al-Ulum.
Namun segera Abduh diaktifkan kembali oleh perdana menteri dan diangkat menjadi
pemimpin redaksi al-waqa'I al-Mishriyah, sebuah surat kabar resmi Mesir. Dalam
posisi itu, Abduh menjadi sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik.
Ketika Abduh menjadi semakin kritis terhadap metode dan tindakan para
pemimpin politik dan militer Mesir, posisinya menjadi sangat terancam. Dia
kemudian diasingkan ke luar negeri mulai tahun 1882. Saat berada di Beirut, dia
menerima undangan al-Afghani untuk bergabung dengannya di Paris. Di sana mereka
mendirikan sebuah organisasi yang sangat berpengaruh meskipun umurnya pendek,
al-'Urwat al-Wutsqa' (Penghubung Terkuat). Tujuan organisasi adalah untuk
mempersatukan dan sekaligus membebaskan mereka dari sebab-sebab perpecahan.
Organisasi ini didedikasikan untuk tujuan umum memperingatkan komunitas
non-Barat tentang bahaya intervensi Eropa, dan tujuan khusus membebaskan Mesir
dari pendudukan Inggris.
Organisasi ini akhirnya bubar. Abduh kemudian kembali ke Beirut. Di
Beirut ia menjadi guru. Rumahnya menjadi pusat anak-anak muda dari berbagai
agama yang terpesona dengan gaya mengajarnya. Pada tahun 1888, ia diizinkan
kembali ke Mesir, tetapi tidak diizinkan untuk mengajar. Pada tahun 1895 ia
menjadi anggota Dewan Administratif al-Azhar. Tepat sebelum pergantian abad, ia
diangkat menjadi Mufti Mesir. Sementara dalam posisi ini ia mengusulkan
perubahan sistem pengadilan agama dan melanjutkan perjuangannya untuk mereformasi
pendidikan di Mesir, khususnya di al-Azhar. Sebagai Mufti, ia kembali ke
praktik mengeluarkan fatwa tentang masalah hukum. Di dalam fatwa inilah kita
bisa melihat beberapa pemikiran menarik dari manusia yang kompleks ini. Abduh
memegang posisi mufti ini sampai kematiannya pada 11 Juli 1905.
Pemikiran-Pemikiran
Muhammad Abduh
Aktivitas Muhammad Abduh yang tergambar dalam perjalanan hidupnya
terdiri dari berbagai bidang, mulai dari pendidikan hukum, politik sampai pada bidang keagamaan, pemikiran pendidikan selalu
dia perjuangkan untuk
memperbaharui sistem pendidikan di Mesir Dia melakukan pemikiran
politik dengan al-Afghani ketika dia berada di Mesir dalam gerakan al-Hizb
al-Wathani dan di Paris dalam gerakan al-'Urwah al-Wutsqa. Pemikiran di bidang hukum
banyak dilakukan saat menjabat sebagai hakim. Pemikiran teologis terlihat
ketika melontarkan pemikiran-pemikiran yang sangat dekat dengan Mu'tazilah
dalam menempatkan fungsi akal. Di antara semua itu, beberapa di antaranya telah
disebutkan di atas, bidang pendidikan menjadi pusat perhatian. Berikut ini
diuraikan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh, khususnya dalam pemikiran
pendidikan dan teologisnya.
Pemikiran Muhammad Abduh dalam Pendidikan
Baginya pendidikan sangat penting, sedangkan ilmu harus dipelajari,
bahkan itulah tujuan hidupnya. Dia menulis bahwa tujuan hidupnya ada dua:
1)
Membebaskan pemikiran dari ikatan taqlid dan memahami
ajaran agama sesuai dengan
jalan yang ditempuh ulama zaman klasik (salaf),
zaman sebelum tim- bulnya perbedaan-perbedaan
faham yaitu dengan kembali kepada sumber utamanya,
2)
Memperbaiki bahasa arab yang dipa- kai baik oleh instansi-instansi pemerintah, maupun surat-surat kabar dan masyarakat umumnya dalam surat menyurat.
Yang juga menjadi perhatiannya adalah menemukan solusi alternatif
untuk stagnasi yang dihadapinya di sekolah-sekolah agama Mesir, yang tercermin
dengan baik dalam pendidikannya di a1-Azhar. Dalam sistem Abduh, siswa SMA
harus mereka yang ingin belajar syariah, militer, kedokteran atau ingin bekerja
di pemerintah. Kurikulum harus mencakup, antara lain: buku
yang memberikan pengenalan pengetahuan, seni logika, prinsip-prinsip penalaran
dan protokol debat; menentukan posisi tengah dalam upaya menghindari konflik,
pembahasan lebih rinci tentang perbedaan Islam dan Kristen. Berbagai upayanya
di bidang pendidikan merupakan wujud dari keinginannya untuk melakukan
reformasi evolusioner, bukan revolusi. Beliau adalah seorang pendidik yang
ingin membawa pembaharuan melalui pendidikan yang memakan waktu lama, namun
menciptakan landasan yang kokoh.
Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Teologi
Menurut Abduh, penyebab kemunduran adalah ideologi lama yang
mewabah di kalangan umat Islam. Kata jumud berarti beku, statis dan tidak
berubah. Muslim berpegang teguh pada tradisi dan tidak mau menerima perubahan.
Pemahaman ini dimungkinkan karena pengaruh dunia non-Arab yang berhasil menahan
kekuatan politik dunia Islam yang tidak ingin umatnya maju. Orang-orang dibiarkan
dalam kegelapan sehingga mereka dapat dengan mudah diatur dan dikendalikan.
Selain itu, dunia Islam telah tercemar oleh praktik-praktik sesat,
seperti pemujaan berlebihan kepada “syaikh dan wali”, taqlid kepada ulama
sebelumnya, dan penyerahan total segalanya kepada qodo' dan qodar. Menurut
Abduh, pemahaman ini membuat umat Islam melupakan ajaran Islam yang sebenarnya.
Untuk memajukan umat Islam, ide-ide sesat harus dikeluarkan dari tubuh umat
Islam. Umat harus kembali ke ajaran Islam yang benar. Untuk melaksanakan
ajaran ini, bagi Abduh, tidak cukup umat Islam hanya kembali kepada ajaran
Islam yang asli dengan pemahaman yang sangat kaku, tetapi juga perlu dipahami
sesuai dengan kondisi modern saat ini. Sebab, situasi umat Islam saat ini telah
banyak berubah dari situasi umat Islam klasik.
Untuk mengikuti perkembangan zaman, umat Islam harus menggunakan
akalnya. Untuk itu, perlu membuka pintu ijtihad yang terhenti dan memberantas
taqlid. Menurutnya, Al-Qur'an tidak hanya berbicara dengan hati manusia, tetapi
juga dengan pikiran. Islam memandang akal memiliki kedudukan yang tinggi.
Pernyataan-pernyataan Al-Qur’an
yang meninggikan kedudukan akal misalnya, afala yatadabbarun, afala yandzurun , afala ya’qilun
dan sebagainya. Islam adalah aga- ma
rasional. Menurut Abduh,
akal mempu- nyai kedudukan yang tinggi. Wahyu tidak
mungkin membawa pada hal-hal yang bertentangan
dengan akal, harus dicari in- terpretasi yang membuat ayat itu diterima
dan sesuai dengan pendapat akal. Hat inilah yang membuat Abduh berfaham
bahwa manusia mempunyai kebebasan
ke-mauan dan perbuatan
(Free will dan Free act).
Menurut Abduh, manusia mewujud- kan perbuatannya dengan kemauan
dan usahanya sendiri, tentu saja disertai kesa- daran bahwa di atasnya masih ada kekua-
saan yang lebih tinggi lagi yaitu Alloh
SWT. Menurut Abduh, jalan untuk mengetahui Tuhan bukanlah wahyu saja tetapi juga akal. Akal dengan kekuatan
yang ada dalam dirinya berusaha memperoleh peng- etahuan tentang Tuhan dan wahyu, yang turun untuk memperkuat pengetahuan akal dan untuk menyampaikan kepada
manusia apa yang tak diketahui akalnya. Menurut Abduh akal dapat mengetahui dua dasar pokok dalam agama,
yaitu ke- wajiban mengetahui
Tuhan dan kewajiban melakukan
perbuatan baik dan menjauhi
perbuatan jahat. Dari dua masalah pokok
itu dipecah menjadi empat, yaitu:
1) Mengetahui Tuhan
2)
Kewajiban berterima kasih kepada Tuhan
3) Mengetahui kebaikan dan kejahatan
4) Mengetahui kwajiban berbuat baik dan kwajiban menjauhi perbuatan
jahat
Antara teologi Mu’tazilah dan teologi Abduh mempunyai persamaan,
sama-sama memberi kekuatan yang tinggi pada akal dan sama-sama berpendapat bahwa wahyu tak mempunyai fungsi dalam keempat
masalah pokok keagamaan yang dipersoalkan.
Konsep Iman dalam Pandangan Muhammad Abduh
Iman
memiliki tiga unsur, iman kepada Tuhan, iman pada dunia gaib dan perbuatan yang
membawa kebaikan baik bagi orang yang melakukannya maupun bagi sesama manusia. Sesuai
dengan pemahamannya bahwa manusia terdiri dari khawas, yaitu mereka yang
memiliki kemampuan untuk mengenal Tuhan dan kelompok gaib dan manusia. orang
awam, yaitu mereka yang tidak memiliki kemampuan sebagai golongan elit, dalam
pandangannya ada dua bentuk keimanan. Iman orang biasa dan iman orang biasa.
Iman kelompok Khawas adalah iman yang benar. Sedangkan iman orang biasa
hanyalah iman taqlidi. Kelompok awam ini tidak mencapai ma'rifat tetapi hanya
tashdiq. Menurut Abduh, hanya iman yang benar yang dapat mendorong seseorang
untuk beramal.
Kehendak Mutlak Tuhan menurut Muhammad
Abduh
Muhammad Abduh meyakini sepenuhnya bahwa manusia memiliki kebebasan
karena manusia diberi daya nalar. Karena itu, menurutnya, kehendak Tuhan itu
tidak mutlak. Kemutlakan itu karena Tuhan sendiri telah memberikan kebebasan
kepada manusia dengan kehendak dan kekuasaannya untuk mewujudkan perbuatan yang
diinginkan. Allah memberikan kehendak dan kekuatan kepada manusia untuk berbuat
salah adalah bagian dari sunnah-Nya. Segala sesuatu di dunia mini, baik dalam
penciptaannya maupun dalam perjalanannya, bertindak sesuai dengan sunnah Allah,
di mana Allah menghubungkan sebab akibat.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa sunnah Allah bagi Muhammad
Abduh, adalah hukum alam yang mengatur perjalanan alam, hukum alam
dengan sebab dan akibat. Dari sini dapat dikatakan bahwa kesuksesan akan
dicapai manusia ketika manusia mengikuti kehendak Allah yang telah dirumuskan
dalam bentuk sunnah-Nya dan bukan karena Allah membuat keputusan secara
tiba-tiba.
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish
Shihab. 2006. Rasionalitas Al-Qur’an Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar.
Jakarta: Lentera Hati.
Abduh, Muhammad. 1922. Al-Ihtifal
bi ihya Dhikra al-Ustadz
al-lmam al-Syekh Mu- hammad Abduh Kaira: Mathba’ah al-Ma- nar.
Aziz, Abdul. 1994. Gerakan
Islam Kontem- porer di Indonesia, Jakarta: Pustaka Fir- daus. Muthahari,
Murtadla. 1986. Gerakan Islam Abad XII. Jakarta:
Beunebi Cipta.
Moh.Khozin. 2015. Muhammad Abduh dan
pemikiran-pemikirannya. Vol 3. No 3. Satranesia
0 Response to "BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH"
Post a Comment