Hermeneutik Jihad
HERMENEUTIK JIHAD DALAM AL-QUR’AN
Filsafat diyakini sebagai
ilmu pengetahuan yang paling awal, tak jarang filsafat disebut sebagai
ibunya para ilmu adapun epistimologi di yakini sebagai
bapaknya ilmu. Seiring
berjalanya waktu filsafat
mengeluarkan banyak cabang keilmuan, seperti sosiologi, psikologi, atau bahkan ekonomi.
Menariknya, yang mereka butuhkan dari filsafat adalah sisi
Epistimologinya. dari sini, satu
persatu terbit cabang kelimuan lainya berbentuk filsafat psikologi, sosiologi,
ekonomi dan lainya.
Salah satu cabang keilmuan
filsafat lainya adalah Hermeneutik, menurut
Gadamer, Hermeneutik adalah
seni memahami sebuah
tulisan (art of understanding). Mulanya,
Hermeneutik digunakan untuk
menginterpretasi text bible agar
relevansinya dapat terus sejalan dengan zaman,
lebih dari itu, kini Hermeneutik digunakan untuk memahami
berbagai macam text dan kitab suci, termasuk
al-Quran. Lantas, apakah
Hermeneutik dapat digunakan
untuk mengisterpretasikan ayat-
ayat al-Quran? al-Quran dan Bible sama-sama
diyakini sebagai bagian dari rangkaian wahyu
Tuhan. Bedanya, al-Quran
adalah wahyu Tuhan berbentuk verbatim
sementara bible adalah wahyu
Tuhan berbentuk inspirasi, kedua-duanya memiliki persamaan, yakni sama-sama mengkomunikasikan pesan Ilahi melalui
sebuah bahasa. Artinya, Hermeneutik memiliki kans untuk turut meramaikan bursa interpretasi. Jauh sebelum
Hermeneutik lahir, Islam sudah terlebih dahulu memiliki
kajian ilmu tafsir,
namun demikian keduanya
memiliki cakupan obyek penafsiran yang berbeda.
Dewasa ini, mempelajari Hermeneutik menjadi hal yang sangat
penting. Pasalnya, banyak
orang yang begitu mudahnya memahami ayat secara tekstual bukan
kontekstual, pemahaman tekstual ini
biasa juga disebut sebagai skriptualisme. Yang lebih menyedihkan, sebuah teks
atau ayat cenderung dipahamai
sepotong-sepotong sehingga menghasilkan pemahaman yang tidak utuh. Kekeliruan ini terjadi lantaran sang
pembaca mengabaikan beberapa aspek penting dalam upaya memahami sebuah teks.
Schleiermacher dalam Hermeneutics Interpretation Theory menjelaskan, untuk memahami sebuah text sang pembaca harus terlebih dahulu
merekonstruksi sejarah pada saat teks itu dibuat. Lebih dari itu, sang pembaca
pun harus mampu menghilangkan prasangka-prasangka sejarah yang tengah ia alami. Artinya, seorang
pembaca dari Negara berkonflik dan pembaca dari Negara tak berkonflik akan menghasilkan interpretasi berbeda. Menarik memang memahami teks-teks dengan menggunakan kajian Hermeneutik. Dalam hal ini, penulis akan mencoba mengurai
ayat- ayat jihad melalui studi
Hermeneutik dengan terlebih dahulu merekonstruksi kontek historis teks jihad.
Seperti kata pepatah mati satu tumbuh
seribu, realita itu lah yang kini terjadi
pada pertumbuhan terorisme di
Indonesia. Dengan mengusung tema
“jihad” para teroris ini tak segan
segan meledakkan dirinya di tempat umum yang terdeteksi sebagai tempat maksiat.
Iming- iming 72 bidadari di surga menjadi motivasi utama dalam setiap aksi
terorisme mereka. Camp pelatihan terorisme
pun kian bertebaran, yang paling nyata
ada di Aceh dan Poso. Di Aceh sempat santer
terdengar sebuah kelompok
yang menamakan dirinya
sebagai Tandsim Al-Qoidah. kelompok
ini berhasil melancarkan pelatihan terorisme secara terselubung di daerah Jantho,
Aceh Besar. Polisi yang
berhasil menggendus keberadaan mereka langsung menyisir area tersebut dan menangkap
sedikitnya 30 orang tersangka teroris, beberapa diantaranya diketahui tewas.
Pertanyaanya sekarang adalah, apa
yang meracuni pikiran
mereka sehingga mereka
berfikir bahwa jihad adalah membunuh
dan berperang? Oleh sekelompok kaum radikal di daerah berkonflik pemahaman jihad digiring menjadi
sebuah aktivitas perang
dan perlawanan. Pun, histori perang dalam sejarah islam klasik memang diwarnai dengan berbagai macam kecamuk
perang, mulai dari perang Shiffin,
Jamal dan lainya.
Tapi jika kita mau jujur, perang-perang yang bergejolak, musababnya bukan karena faktor teologis melainkan
konflik sosial, politik
dan ekonomi. teologi hanya
dijadikan legitimasi untuk menghalakan pertumpahan darah diantara mereka.
Contoh nyata lainya adalah,
perseteruan antara Ali dan Ustman yang murni dilatarbelakangi
konflik sosial dan politik, perbedaan pembagian harta rampasan perang memicu konflik
besar yang berujung
pada terbunuhnya Ustman.
Fenomena perang yang terjadi pada Syiah dan Sunni pun masih berkedok teologis.
Padahal, politiklah yang menjadi motif utama pertikaian antar sekte ini. Semua
bermula saat khawarij menolak Ali dan Mu'awiyah, menurut mereka, perseteruan yang terjadi paska perang Shifin disebabkan kesalahan mereka berdua. celakanya lagi, mereka
memvonis keduanya halal untuk dibunuh, posisi Syiah kala itu sebagai kelompok
pro Ali dan kontra Mu'awiyah,
sementara Sunni merupakan kelompok yang menerima kepemimpinan Mua'wiyah setelah terbunuhnya Ali. Dari
sini jelas sudah, konflik politik berkedok teologis lah yang menjadi biang kerok.
Selanjutnya,
Schleiermacher menghimbau pembaca untuk membandingkan antara suatu text dengan text lainya. Jika kita benturkan
dengan ayat jihad, dalam al-Quran
disebut kata jihad dan qatil, jihad
bermakna perjuangan secara umum sementara qatil bermakna perang yang sesungguhnya. Jika ditelisik lebih
dekat, ayat jihad umumnya diturunkan pada periode Mekkah dimana kondisi sosial kala itu sedang dalam keadaaan kondusif, sementara ayat qatil diturunkan pada periode Madinah yang
memang gemuruh perang kala itu sedang bergejolak. Di sini semakin jelas bahwa sebagian orang terjerembab dalam makna
jihad dan qatil, jihad bukan berarti
perang, sementara qatil meskipun diartikan berperang belum tentu menjadi bagian
dari rangkaian jihad.
Ayat – ayat tentang
peperangan yang menyebut
kata Qatil secara
gamblang Allah jelaskan
melalui surat al-Hajj ayat 39 dan surat
al-Baqarah ayat 190.
Dalam surat al-Hajj ayat 39
disebutkan :
اُذِنَ لِلَّذِيۡنَ
يُقٰتَلُوۡنَ بِاَنَّهُمۡ ظُلِمُوۡا ؕ وَاِنَّ اللّٰهَ عَلٰى نَـصۡرِهِمۡ
لَـقَدِيۡرُ
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah
dianiaya. Dan sesungguhnya
Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”,
Begitupun dalam surat al-Baqarah ayat 190 :
وَقَاتِلُوۡا فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ الَّذِيۡنَ يُقَاتِلُوۡنَكُمۡ
وَلَا تَعۡتَدُوۡا ؕ
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الۡمُعۡتَدِيۡنَ
“Dan perangilah di jalan Allah
orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu
melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas.”
Belakangan, terminologi jihad mengalami penyempitan makna menjadi perang
saja. dalam tradisi
sufi jihad dikenal
sebagai Mujahadah (olah jiwa) sementara
dalam tradisi intelektual dipahami sebagai ijtihad (olah otak) dan dalam perang identik
dengan jihad yang bersingungan dengan
aktivitas fisik. jika kita kembalikan
makna jihad pada makna asalnya maka ketiga
pemahaman diatas akan berkutat pada kata jihad saja. dapat disimpulkan, bahwa jihad tak mesti identik dengan bentuk fisik tapi juga
meliputi perjuangan intelektual, emosional bahkan spiritual. Menurut
pakar Hermeneutik lainya, Hirsch dalam Hermeneutics Journal 12 Quran
Text and Context, mengatakan,
setiap text memiliki makna tunggal tapi signiifikansinya bersifat jamak.
Terlebih, text jihad memiliki signifikansi yang berbeda-beda di setiap Negara,
pengalaman sejarah si pembaca
akan mempengaruhi dirinya dalam menginterpretasikan signifikasnsi ayat ini. Berbeda dengan Hirsch, Gadamer meyakini
bahwa tidak ada kata yang memilki makna tunggal, setiap kata, menurut
Gadamer akan memiliki
makna yang berbeda
ketika ditempatkan dan diucapkan di tempat yang berbeda.
Perbedaan
interpretasi text jihad ini memang tidak terlepas dari munculnya berbagai macam sekterianisme dalam Islam,
masing-masing sekte memiliki interpretasi sendiri terhadap suatu text, hal ini yang lantas menjadi
kemelut dalam memahami al-Quran. Akibatnya, tidak ada interpretasi text dalam al-Quran yang kebenaranya bersifat
universal, masing-masing sekte merasa memiliki
interpretasi sendiri yang mereka anggap benar, setidaknya dengan mempelajari Hermeneutik dan ilmu tafsir secara
menyeluruh akan membuat kita sebagai pembaca lebih bijak dan berhati-hati dalam memahami sebuah text, terutama pemahaman
secara textual praktis yang hanya
akan mengundang keprihatinan.
Di penghujung
tulisan ini, melalui beberapa metodologi Hermeneutika Schleiermacher
& Gadamer, dapat kita simpulkan
bahwa jihad adalah perjuangan bukan peperangan. Makna jihad bisa berekembang sesuai dengan konteknya.
Sementara qital hanya salah satu corak jihad yang beragam. Adapun jihad sebenarnya adalah bagian dari ayat
situasional yang pemahamanya tidak bisa dipisahkan dari situasi, perang bukanlah kebringasan untuk menyerang melainkan
keterpaksaan untuk
mempertahankan diri.
0 Response to "Hermeneutik Jihad"
Post a Comment