Farid Esack Pemikir Hermeneutik Sosial

 






MODEL PENAFSIRAN HERMENEUTIKA SOSIAL 

DALAM AL-QUR’AN PEMIKIRAN FARID ESACK

Oleh:

A.Fathur Rizqi

UIN K.H Abdurrahman Wahid

Abstrak

Al-Qur'an merupakan kitab suci yang dijadikan pedoman bagi umat Islam yang turun secara mutawatir selama kurang lebih 23 tahun dalam segala hal, termasuk pemecahan masalah sosial dan politik yang muncul di Afrika Selatan. Farid Esack adalah seorang pembaharu Muslim Afrika Selatan dengan ide hermeneutik untuk membebaskan Afrika Selatan dari penindasan apartheid. Upaya Esack bertujuan untuk menafsirkan kembali teologi Islam. Teologi Pembebasan lahir dan berkembang di Amerika Latin, sebagai gerakan pemerdekaan bagi kelompok masyarakat miskin, pinggiran, dan tertindas. Teologi pembebasan tampil dengan menyerukan persamaan hak tanpa memandang latar belakang, agama, etnis, dan warna kulit. Di kalangan Islam, Farid Esack, pemikir dari Afrika Selatan, adalah salah seorang yang dengan sangat semangat mendengungkan pembebasan. Tafsir keselamatan atau pembebasan yang digagas oleh Farid Esack meliputi: taqwa, tauhid, al-nas, mustad'ifun, al-adl al-qist dan jihad. Metode tersebut digunakan untuk mendefinisikan kembali makna keyakinan dan penistaan. Menurutnya, keyakinan (iman) memanifestasikan dirinya tidak hanya dalam hati tetapi juga dalam tindakan seseorang. Kufur, di sisi lain, didefinisikan di bidang agama dan praktik.

Kata kunci : Hermeneutik, Iman, Kufr

Pendahuluan

Hermeneutika adalah cara menemukan makna al-Qur'an, yang berangkat dari realitas sosial untuk dikontekstualisasikan dengan masa kini. Hermeneutika Pembebasan dirintis oleh Farid Esack, namun sebenarnya Esack lebih sering menamakannya Islam progresif. Artinya Al-Qur'an selalu aktif menjawab persoalan umat dari waktu ke waktu. Tadrij atau tahapan ditandai dengan turunnya Al-Qur'an. Farid Esack memfokuskan karyanya pada implikasi politik dan teologis. Hermeneutika Esack  memiliki  kunci  yang  digunakan  sebagai pembatas  agar  nuansa  pembacaan  Al-Qur’an berkarakter pembebasan masyarakat dari ketidakadilan, perpecahan, dan eksploitasi.[1]

Pembahasan

A.    Biografi Farid Essack

Farid Esack dilahirkan pada tahun 1959 di sebuah perkampungan kumuh lagi miskin di Cape Town, Wynberg, Afrika Selatan.[2] Farid memiliki lima saudara kandung, dan ayahnya meninggalkan mereka pada usia tiga minggu, dan seorang ibu yang bekerja sebagai buruh pabrik dengan penghasilan minim. Kehidupan Farid Esack di kampung halamannya di Wynberg dipenuhi dengan kecemasan dan tekanan. Jadi dia pindah ke Bonteheuwel, sebuah kota kulit hitam di Cape Flats (secara historis merupakan bekas koloni Inggris) di Afrika Selatan. Apartheid, yang diberlakukan pada tahun 1952, menyebabkan Farid Esack dan keluarganya lebih menderita karena kemiskinan, penindasan, dan pembatasan agama. Karena adanya Group Areas Act (Akta Wilayah Kelompok), semua orang kulit berwarna (kulit hitam) didiskriminasi oleh rezim apartheid, yang merupakan aktor hegemonik penindasan saat itu.[3]

Di Bonteheuwel, Esack menjumpai struktur komunitas yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan komunitas Wynberg. Ada berbagai suku, budaya dan agama. Gejala sosial masyarakat yang khas adalah pluralitas dan heterogenitas. Meskipun hidupnya tidak seromantis di Wynberg, Esack menemukan kehidupan sosial-keagamaan yang lebih damai dan harmonis di Bonteheuwel, yang menjadi budaya dan sudah mengakar kuat di masyarakat.

Berdasarkan pengalaman pahit yang dialaminya, Farid Esack terpacu untuk mempertanyakan secara kritis teks-teks keagamaan, yang seringkali dimaknai sebagai eksklusif. Penting juga untuk mempertanyakan secara mendasar makna agama, klaim kebenarannya, dan ajaran keselamatan agama. Karena Esack sadar akan adanya konteks penindasan yang semakin parah, menghadapi problematika kehidupan saja tidak cukup, dan tidak cukup dengan berpegang teguh pada argumen-argumen normatif dan teologis yang terus-menerus ditafsirkan secara eksklusif, konservatif, dan ideologis.

Hal Ini merupakan bentuk semangat revolusioner yang menafsirkan teks-teks agama untuk membebaskan rakyat Afrika Selatan dari rantai penindasan, kapitalisme, rasisme, kolonialisme, dan imperialisme yang dilanggengkan oleh rezim apartheid. Eksploitasi jenis kelamin dan lain-lain selalu terbayangkan. Oleh karena itu, dia sangat yakin bahwa kondisi seperti ini adalah sesuatu yang mendesak dan mutlak diperlukan bagi umat Islam dan khususnya bagi masyarakat Afrika Selatan.

B.     Latar Belakang Intelektual

Sejak kecil Farid Esack sudah dididik Meskipun ia hidup dalam keadaan  miskin, ibunya tetap mengirimnya ke sekolah Kristen. walaupun harus berpindah-pindah dari satu madrasah ke madrasah lainnya, namun Farid Esack tetap menunjukkan semangat dalam menempuh pendidikannyq. Tekadnya untuk menuntut ilmu hingga diangkat menjadi salah satu guru madrasah, membuatnya menjadi seorang ulama yang dikenal masyarakat.

Setelah lulus dari sekolah madrasahnya, Farid Esack mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Karachi, Pakistan, di mana ia belajar di dua tempat berbeda, Jama'ah al-Islamiyah dan Jama'ah al-Ilmiyah. Ia meraih gelar BA dalam Hukum Islam dari Jama'ah al-Islamiyah. Selama di Jama'ah al-Ilmiyah, ia memperoleh gelar Sarjana Teologi. Farid Esack kemudian melanjutkan pendidikannya di Brimingham, Inggris, di mana ia menerima gelar doktor dalam Hermeneutika Al-Qur'an.

pada tahun 1984 hingga 1989, ia menjadi koordinator nasional Call for Islam, yang mengadvokasi solidaritas antaragama untuk keadilan, perdamaian, dan perang melawan penindasan apartheid. Dia telah memainkan peran kunci di Front Persatuan Demokrasi, Call of Islam, Organisasi Melawan Seksisme, Cape melawan Rasisme dan Konferensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian.[4]

C.     Al-Qur’an di Mata Farid Essack

Al-Qur'an adalah bacaan yang sempurna dan mulia, tidak ada bacaan seperti Al-Qur'an yang dibaca oleh ratusan juta orang, walaupun sebagian besar tidak mengerti artinya atau tidak bisa menuliskannya dengan huruf. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja dan anak-anak. Penerimaan Al-Qur'an oleh setiap orang juga berbeda-beda. Ada yang menjadikanya sebagai wirid setiap hari, ada pula yang menjadikannya jimat dengan menuliskan ayat di dalam secarik kertas ataupun kain. Ada juga yang menjadikan ini sebagai semangat perubahan sosial seperti Esack.

Dalam pandangan Esack, Al-Qur'an adalah wahyu yang progresif, artinya, Tuhan ikut serta dalam urusan makhluk dan alam semesta. Kemajuan ini terlihat pada sistem kenabian (prophethood), penurunan bertahap (Tadrij), asbabun nuzul, dan nasih-mansukh (penghapusan). Farid Esack juga memahami Al-Qur'an sebagai kalam Allah, yang diturunkan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad, baik secara harafiah maupun lisan, dalam bahasa Arab yang paling murni. Menurutnya, al-Qur'an secara sosiologis merupakan respon terhadap realitas kehidupan di awal lahirnya masyarakat Arab, namun penting juga bagi masyarakat lain di luar Arab.[5]

D.    Metode Penafsiran Al-Qur’an Farid Esack

Metode tafsir adalah metode yang digunakan oleh seorang ahli tafsir untuk menjelaskan atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an berdasarkan aturan yang dirumuskan dan diterima secara benar untuk mencapai tujuan tafsir. Metode digunakan untuk menggali lebih dalam makna al-Qur'an, seperti tafsir bil ma'tsur dan tafsir bilra'yi. Ada juga maudhu'i, atau metode penafsiran tematik. Belakangan, metode hermeneutik muncul sebagai alat untuk menafsirkan al-Qur'an.

Sebagaimana umumnya hermeneutika, Esack melihat bahwa tiga elemen dasar pemahaman tekstual membentuk lingkaran hermeneutik: teks, penulis, dan penafsir. Dalam posisi hubungan ini, kehadiran teks dalam konteks sangat ditentukan oleh kekuatannya untuk mengubah paradigma atau model bagaimana teks seharusnya dibaca. Menurut Esack, makna dari ketiga unsur tersebut dapat dipahami :

Pertama, teks. Makna teks dalam hermeneutika pembebasan erat kaitannya dengan interpretasi fungsionalis terhadap teks. Dalam konteks bahasa sebagai wacana dan praktik sosial, tujuannya bukan hanya untuk menganalisis teks atau proses produksi interpretasi. Selain itu, sebuah teks analisis harus mempertimbangkan proses dan kondisi sosial, yaitu kondisi di sekitar konteks situasi dan kondisi kelembagaan dan struktur sosial lainnya.

Kedua, konteks. Salah satu ciri hermeneutika pembebasan Farid Esack merupakan adaptasinya terhadap konteks masyarakat Afrika Selatan yang tertindas. Bagi Esack, masalah hermeneutika muncul dalam kerangka pertanyaan: untuk siapa dan untuk tujuan apa seseorang melakukan tugas hermeneutik. Ketiga, penafsir. Ketika menafsirkan kitab suci, penafsir aktif dalam dua bidang, yaitu kegiatan penafsiran itu sendiri dan aturan-aturan yang mengikatnya. Kegiatan penafsiran melibatkan penafsir dan konteks ruang-waktu. Sedangkan aturan penafsiran terkait dengan teks dan aturan yang menjelaskannya.

Berdasarkan hermeneutik yang dipilihnya, Esack membedakan posisi penerjemah: penafsir yang keluar dari konteks dan penafsir yang terlibat langsung dalam konteks isu-isu sosial. Sementara penerjemah jauh akan memahami Al-Qur'an sejauh ia menemukan makna teks yang tidak mengandung pesan apapun bagi masyarakat, sebaliknya penerjemah yang bersangkutan akan memahami teks Al-Qur'an dengan lebih baik.

Selanjutnya, dalam merefleksikan pergulatannya dengan konteks yang dihadapinya, Farid Esack membuat kunci-kunci hermeneutika pembebasan yang terdiri dari:

1.      Taqwa yaitu sebuah lingkaran pelindung bagi penafsir agar terbebas dari kepentingan-kepentingan yang berpihak.

2.      Tauhid, yaitu unsur yang menjadi landasan kesatuan dan penolakan atas dualisme, penolakan atas pembedaan manusia berdasarkan ras-rasnya.

3.      Al-Nas, yaitu prinsip dasar penciptaan manusia di bumi sebagai khalifah meniscayakan netralitas persamaan derajat manusia.

4.      Mustad‘afin fi al-ard, yaitu penafsir yang terlibat mendekati teks lewat keputusan sadar untuk menemukan makna, yang memberikan tanggapan secara kreatif pada penderitaan mustadh‘afun dan berpegang teguh pada pembebasan dan keadilan.

5.      Adl dan qist, yaitu penafsir yang berada dalam situasi ketidakadilan, al-Qur‟an harus terdorong untuk menjadi alat ideologis bagi pemberontakan yang komprehensif menentang penindasan dalam segala wujudnya.

6.      Jihad, yaitu dimaknai sebagai kunci hermeneutika yang mengasumsikan bahwa hidup manusia pada dasarnya bersifat praksis; teologi akan mengikuti. Tentang kehadiran Tuhan dalam proses transformasi, ayat yang mengungkapkan bahwa “Tuhan tidak akan mengubah keadaan manusia, sampai ia sendiri mengubahnya sendiri”, sering dikutip untuk menegaskan bahwa sejarah dan masyarakat adalah wilayah tempat berlangsungnya transformasi bagi manusia.

Jika dicermati lebih dekat, hermeneutika Farid Esack lebih menekankan pada aspek partisipasi penafsir dalam situasi sosial yang ada, sehingga penafsiran merupakan subjektivitas penafsir dalam pembebasan dari penindasan masyarakat.

E.     Tatbiq Penafsiran

Dalam contoh implementasi kunci Hermeneutika, Farid Esack menata ulang definisi diri dan orang lain. Hal ini dilakukan untuk mengenali makna yang terkandung dalam Al-Qur'an dan menerapkannya pada kondisi yang dihadapi Esack saat itu. Langkah-langkah yang dilakukan adalah menelaah makna iman, Islam dan kekafiran. Berikut ini akan dijelaskan pengertian-pengertian tersebut:

1.      Iman

Dalam mendefinisikan term iman, Esack mengambil ayat 2-4 surat Al Anfal. Kemudian, Esack mencari makna yang signifikan atas term iman yang ada di dalam ayat tersebut. Langkah ini merupakan langkah pertama dalam hermeneutic, yaitu mencari makna awal di mana konteks ayat itu turun. Dalam penelitiannya Esack memaparkan kronologi turunnya ayat sebagai sebuah konteks turunya ayat, kemudian memaparkan argumentasi para ulama atas term iman. Hasil dari penelitiannya ini menyimpulkan bahwa iman tidak hanya sebagai pengakuan hati, namun di dalamnya ada watak dinamis yang mempunyai keterkaitan satu sama lain antara iman dan amal saleh, serta iman sebagai respons personal kepada Tuhan.

Setelah mendapatkan konklusi di atas, Esack memandang bahwa iman tidak cukup hanya sebuah pengakuan, namun sebuah tindakan yang masuk dalam kategori amal saleh ada dalam konteks iman, sehingga dengan melihat itu, dia menyimpulkan beberapa isu penting; pertama status orang-orang yang beriman dalam arti pengakuan, namun tidak “beramal saleh”, sekalipun yang terakhir itu diartikan sebagai ibadah-ibadah Islam baku; kedua nilai amal saleh yang tidak disertai iman dalam arti pengakuan atau persaksian seperti yang dibahas dalam teologi Islam; ketiga, kemungkinan bagi iman yang tidak disertai pengakuan, seperti dibahas dalam teologi Islam.[6]

 Dalam kesimpulannya Esack mengatakan meski iman juga merupakan respons pribadi kepada Tuhan, ia tidak dapat dibatasi pada komunitas sosio-religius tertentu, usaha seperti ini akan mengarah pada penolakan universalitas Tuhan itu sendiri.

2.      Islam

Dalam mendefinisikan makna Islam, Esack membagi Islam menjadi dua konsep yaitu Islam sebagai din (agama) dan Islam itu sendiri. Islam sebagai bentuk inisiatif dari aslama berarti “tunduk”, “menyerah”, “memenuhi”, “damai”, atau “keseluruhan”. Menurutnya istilah Islam, meski jarang muncul di dalam al-Qur’an menempati kedudukan sentral dalam pendefinisian diri muslim.

Esack menilai definisi Islam masa kini telah bergeser menjadi sebuah istilah untuk kelompok tertentu sehingga jauh dari makna aslinya. Sementara Islam bermakna din, dia mengatakan bahwa para pemikir muslim lebih membahasnya kearah teolog, yang menjadikannya sebuah inklusifitas kelompok. Sementara kajian analisis secara linguistik lebih dilakukan pemikir non-muslim.

Hasil dari itu adalah “din” mempunyai beberapa makna yaitu konsep agama sistematik, menilai, menetapkan keputusan, mengarahkan diri, menjaga diri, menjalankan praktik tertentu, mengikuti tradisi, kesesuaian, kepatuhan, ketaatan, kebiasaan dan perilaku standar. Dari kajian itu Esack mencoba membebaskan Islam dari bungkus teolog, sehingga dapat dikontekstualisasikan dalam kondisi masyarakat Afrika Selatan. Hasil dari kajian itu membawa Esack menyimpulkan bahwa muslim bukan hanya label namun juga realitas ketundukan pada Tuhan, sehingga lebih besar dari sekedar Muslim dari sebuah agama reifikasi.

3.      Kufur

Pemahaman al-Kufr, sebagaimana telah menjadi pandangan umum golongan fundamentalis bahwa yang dinamakan kafir adalah orang di luar Islam. Sedangkan, Esack memberikan konsep kafir yang lebih luas. Bahwa kafir secara doktrinal berarti beda keyakinan; ada kafir secara sosio-politik; kafir dalam arti memerangi keadilan. Hal ini ditunjukkan oleh banyak ayat al-Quran yang berisi :

a.       Kafir, dalam arti menghalangi orang dari jalan Allah; adalah upaya untuk memusuhi para nabi dalam menegakkan keadilan.

b.      Kafir berarti orang yang berjalan di jalan Thaghut (setan).

c.       Kafir juga berarti penolakan untuk memberi sedekah pada anak yatim dan orang miskin

d.      Sikap diam (apatis), tidak bertindak apa-apa terhadap segala bentuk penindasan dan eksploitasi juga dapat digolongkan dalam makna kafir.

Bagi Esack, ide asli tentang kekafiran bercampur dengan ketuhanan. Padahal  orang-orang kafir pun menerima keberadaan Tuhan. Dengan kata lain, kafir sebenarnya merupakan tekanan atau kontradiksi terhadap keyakinan yang diwujudkan dalam cinta. damai sayang, harmoni dan kesejahteraan.

Kesimpulan

Farid Essack merupakan tokoh hermeneutic yang berasal dari Afrika Selatan. Meskipun ia hidup dalam kemiskinan, ibunya tetap menyekolahkan Essack dan tidak menyurutkan semangat Essack untuk belajar. Bahkan setelah Essack lulus madrasah, ia mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Karachi, Paskitan. Dalam pandangan Esack, Al-Qur'an adalah wahyu yang progresif, artinya, Tuhan ikut serta dalam urusan makhluk dan alam semesta. Adapun kunci hermeneutika pembebasan Farid Esack yaitu, Taqwa, Tauhid, al Nas, Mustad‘afin fi al Ard, Adl dan Qist, Jihad. Dalam implementasi kunci Hermeneutika, Farid Esack menata ulang definisi diri dan orang lain. Hal ini dilakukan untuk mengenali makna yang terkandung dalam Al-Qur'an dan menerapkannya pada kondisi yang dihadapi Esack saat itu. Langkah-langkah yang dilakukan adalah menelaah makna iman, Islam dan kekafiran.

Reference

Munfarida, Elya. "Hermeneutika Al-Qur'an dalam Perspektif Farid Essack." Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam 2.1 (2008)

Rozak, Muhammad Abdul, and Hanief Saha Ghafur. "Studi Tafsir Hermeneutika Farid Esack terhadap Perjuangan Al-Mustad’afin (Kaum Lemah dan Tertindas)." Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia 7.7 (2022): 9778-9792.

Munir, Misbachul. "Hermeneutika Farid Esack." Jurnal Ilmiah Spiritualis: Jurnal Pemikiran Islam dan Tasawuf 4.2 (2018)

 

 

 



[1] Muhammad Abdul Rozak and Hanief Saha Ghafur, Studi Tafsir Hermeneutika Farid Esack terhadap Perjuangan Al-Mustad’afin (Kaum Lemah dan Tertindas),( Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia 7.7 2022) hlm 9779

[2] Zakiyuddin Baidhawy, Hermeneutika Pembebasan Al-Qur’an:  Perspektif Farid Esack dalam Abdul Mustaqim-Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur’an Kontemporer. Wacana baru berbagai metodologi tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), hlm.195

[3] Munfarida, Elya, "Hermeneutika Al-Qur'an dalam Perspektif Farid Essack." (Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam 2.1 ,2008) hlm 1

 

[4] Misbachul Munir,  "Hermeneutika Farid Esack." (Jurnal Ilmiah Spiritualis: Jurnal Pemikiran Islam dan Tasawuf 4.2, 2018), hlm.196

 

[5] Misbachul Munir,  "Hermeneutika Farid Esack." (Jurnal Ilmiah Spiritualis: Jurnal Pemikiran Islam dan Tasawuf 4.2, 2018), hlm.199

[6] Misbachul Munir,  "Hermeneutika Farid Esack." (Jurnal Ilmiah Spiritualis: Jurnal Pemikiran Islam dan Tasawuf 4.2, 2018), hlm.205

0 Response to "Farid Esack Pemikir Hermeneutik Sosial"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel